Surgamu Ada pada Keridhaan Suamimu (1)

Suami dan istri, masing-masing memikul kewajiban dan memiliki hak yang adil antara keduanya. Setiap hak dan kewajiban itu berpotensi secara berimbang membawa suami dan istri menuju surga atau justru menggiring mereka menuju neraka. Apabila hak dan kewajiban itu dipenuhi oleh keduanya maka surgalah tempat keabadian mereka. Sebaliknya, apabila hak dan kewajiban itu tidak tertunaikan dengan baik maka nerakalah balasannya.

Bagi seorang muslimah yang sudah berstatus sebagai istri, ia mendapat jaminan surga apabila kewajiban-kewajibannya ditunaikan dengan baik dan hak-hak suami terpenuhi secara baik juga. Salah satu bekal untuk mendapatkan jaminan surga bagi istri adalah keridhaan suami.

Menurut istilah syari’at, ridha artinya adalah seorang hamba tidak mengeluh terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya. Ibarat seorang pasien, misalnya, ia ridha meminum obat walaupun obat itu pahit dan sebetulnya dia menderita karena rasa pahit itu. Namun, si pasien tetap ridha dengan obat itu dan merasa tenteram dengan mengonsumsinya juga mau menerimanya, walaupun dalam waktu yang sama dia merasakan pahitnya obat tersebut. Keridhaan ini didorong oleh keinginan si pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Begitu pula keridhaan suami terhadap kita, tiada lain adalah karena kita mengharapkan keridhaan yang tertinggi, yaitu keridhaan Allah swt.

 Ada banyak hal yang bisa menarik keridhaan suami kepada kita, yang kesemuanya akan bermuara pula pada kewajiban-kewajiban kita kepada suami tercinta. Jika kita mampu memenuhi kewajiban-kewajiban itu, niscaya pintu-pintu surga akan berebut memanggil kita agar masuk ke dalamnya. Apa saja hak-hak suami yang wajib kita penuhi?

A. Menaati Suami
“Hak suami atas istri ialah tidak menjauhi tempat tidur suami dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, menaati perintahnya, tidak keluar (meninggalkan) rumah kecuali dengan izin suaminya, dan tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang yang tidak disukai suaminya.” (H.R. Ath-Thabrani)

Setiap orang yang memerintahkan sesuatu kepada orang lain, pasti ia menghendaki perintahnya itu ditaati dan dilaksanakan dengan baik. Demikian halnya dengan suami. Tatkala ia memerintahkan sesuatu kepada istrinya, pasti ia berharap agar perintahnya ditaati dan dilaksanakan dengan oleh sang istri.

Betapa kesalnya hati seorang suami apabila perintahnya tidak ditaati oleh sang istri. Jangankan tidak ditaati, ketika perintahnya dilaksanakan tidak sesuai dengan harapannya pun tak urung akan menimbulkan kekesalan tersendiri bagi suami. Apalagi jika perintahnya tak diindahkan, dilecehkan, atau bahkan dibantah, betapa marahnya suami.

Sehebat apa pun prestasi duniawi kita hingga mengalahkan prestasi sang suami, kita tetap tidak dibenarkan merendahkan atau meremehkan perintah suami. Ketaatan terhadap perintah suami adalah ketaatan yang bersifat mutlak bagi setiap istri. Ketaatan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Dan, taat kepada suami menjadi salah satu ciri wanita penghuni surga.

Ketaatan kepada suami dan bersikap hormat kepadanya dapat meninggikan derajat pahala seorang istri hingga menyamai derajat pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt. Sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang wanita datang mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan kaum wanita kepadamu.” Lalu wanita itu menyebutkan keuntungan yang diperoleh kaum laki-laki dari berjihad dan lainnya berupa pahala dan harta rampasan perang. “Lalu apa yang kami peroleh dari semua itu?” Tanya wanita tersebut. Kemudian Rasulullah menjawab, “Sampaikanlah kepada setiap wanita yang kamu jumpai bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya mengimbangi pahala semua itu. Tetapi, sayangnya sedikit sekali di antara kalian yang mampu melakukannya.” (H.R. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)

Begitu pokoknya ketaatan kepada suami sampai-sampai Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatâwâ mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri setelah menunaikan kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali terhadap suami.

Sementara itu, ketidaktaatan kepada suami akan berujung pada murka Allah swt, sebagaimana sabda Nabi saw, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu sang istri menolak ajakan suaminya, melainkan Allah akan terus-menerus murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” (H.R. Muslim)

Apakah dengan dalil tersebut berarti setiap keinginan dan perintah suami harus kita taati? Tentu tidak! Hanya keinginan dan perintah yang tidak bertentangan dengan syari’at yang wajib kita penuhi. Dan, apabila keinginan atau perintah itu berupa kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hukum Islam, istri wajib menolaknya karena Rasulullah saw telah bersabda, “Tiadalah ketaatan seseorang terhadap perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya ada dalam kebajikan semata.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i)

Namun, kalaupun kita harus menolak perintah suami, hendaklah penolakan itu dilakukan dengan cara yang arif. Sedapat mungkin suami tidak kecewa atas penolakan kita. Bahkan, kalau bisa kita justru menyadarkan suami atas perintah maksiat yang ia berikan.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts