Hak-Hak Istri

a.    Mendapatkan nafkah dari suami
    Seorang Istri berhak mendapatkan nafkah dari suami, baik nafkah lahir maupun batin, dan ia dapat menuntut hak tersebut. Berkaitan dengan nafkah lahir, seperti uang belanja, jika suaminya kikir dan tidak mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka istri boleh mengambil harta suami, dengan syarat harus digunakan secara baik, bukan untuk menghambur-hamburkannya.

Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah r.ha., ia berkata, “Hindun, Ummu Mu’awiyah, mengadu kepada Rasulullah saw, ‘Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang kikir, apakah saya boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ambillah dari hartanya untuk memenuhi kebutuhanmu dan kebutuhan anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf.’” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah)

    Selain nafkah lahir, istri juga berhak mendapatkan nafkah batin, seperti kebutuhan seksual, kasih sayang, dan perhatian. Oleh karena itu, seorang suami, sama halnya dengan istri, hendaknya selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan nafkah batin tersebut. Dalam hadits dijelaskan, “Engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan engkau jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah (tidak boleh memindahkan istrinya ke tempat lain kemudian mendiamkannya di tempat tersebut).” (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

b.    Mendapatkan bagian yang adil
    Seorang Istri berhak mendapat bagian yang adil dari suaminya, jika suaminya memiliki istri lain. Bagian yang adil ini meliputi hal-hal yang sifatnya lahir maupun batin, materi maupun immateri. Ada beberapa hal yang harus dilakukan suami jika ia memiliki lebih dari seorang istri.

    Pertama, wajib memberikan rumah kepada masing-masing istrinya. Kewajiban ini merujuk pada firman Allah swt, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:33). Allah swt menyebut rumah Nabi Muhammad saw dalam bentuk jama’, sehingga dapat dimaknai rumah beliau tidak hanya satu rumah. Mengumpulkan lebih dari satu istri dalam satu rumah merupakan perbuatan yang tidak patut, bahkan tercela baik oleh agama maupun di kalangan masyarakat. Menyatukan lebih dari satu istri dalam satu rumah berpotensi memunculkan cemburu dan permusuhan.

    Kedua, bersikap adil terhadap istri dalam hal giliran nafkah batin. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw memiliki sembilan istri. Kebiasaan beliau menggilir istrinya adalah dengan cara mengunjungi semua istrinya dan berakhir di rumah istri yang mendapat giliran saat itu. Dalam kasus lain, seorang suami perlu mengundi atau menjadwal istri-istrinya dalam bepergian atau belanja, sehingga masing-masing mendapatkan haknya.

    Ketiga, seorang suami tidak diperkenankan keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah istri lain, kecuali dalam keadaan darurat. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim diceritakan, ketika Rasulullah saw sedang berada di rumah Aisyah r.ha. setelah beberapa saat berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi’, sebagaimana diperintahkan Jibril. ‘Aisyah r.ha. mengikuti beliau karena menduga Rasulullah saw pergi ke rumah istri lain. Ketika Rasulullah saw pulang, beliau mendapatkan Aisyah r.ha. terengah-engah. kemudian beliau  bersabda, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”.

c.    Mendapatkan perlakuan baik dari suami
    Istri berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari suami dalam pergaulan sehari-harinya. Seorang suami hendaklah memahami bahwa istri juga manusia yang kadang melakukan kesalahan. Oleh karena itu, suami hendaknya bisa memahami dan memaafkan istri jika melakukan kesalahan. Allah swt berfirman: “Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa` [4]: 19)

    Rasulullah saw juga bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (H.R. At-Tirmidzi)

d.    Istri berhak menjenguk keluarganya atau merawat anggota keluargamya yang sakit

    Dalam Al-Qur’an, Allah swt menyatakan, “…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:228).

    Yusuf al-Qaradhawi, dalam Fatwa-fatwa Kontemporer, menyatakan bahwa hendaknya seorang suami atau wali tidak melarang istri atau putrinya untuk menjenguk orang yang punya hak untuk dijenguk olehnya, seperti kerabatnya yang bukan mahram, atau besan, atau gurunya, atau suami kerabatnya, atau ayah kerabatnya, dan sebagainya dengan syarat istri atau putrinya bisa menjaga ketentuan-ketentuan syara’, seperti menjaga pandangan, pembicaraan, tidak berduaan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami, dan sebagainya. Yusuf al-Qaradhawi mendasarkan pendapatnya tersebut dengan beberapa hadits, salah satunya dari ‘Aisyah r.ha., “Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, Abu Bakar r.a. dan Bilal r.a. jatuh sakit, lalu aku datang menjenguk mereka, seraya berkata, ‘Wahai Ayahanda, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?’” (H.R. Bukhari)

image: dakwatuna.com
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts