Dapatkan Buku Baru: Sejarah Hidup Nabi Muhammad

Judul buku         : Sejarah Hidup Nabi Muhammad

Penulis               : Irham Sya’roni & Ulfah eNHa
Penyunting         : Irham Sya’roni
Ilustrasi              : Hanif I, Ali, dan Ajon PH
Tata letak isi       : M. Fuad Hasan Sy.
Desain sampul   : Rohman Khoir
Penerbit            : Idea World Kidz, Yogyakarta
Tebal                 : vi + 170 halaman
Ukuran buku     : 18,75 x 26,25 cm
Harga                : Rp 75.000


Assalamu’alaikum warahmatullah
Ayah dan bunda, sungguh kita amat prihatin menyaksikan anak-anak saat ini begitu intim dengan televisi yang mempertontonkan tayangan yang tidak semestinya dilihat oleh anak. Belum lagi keberadaan internet yang begitu mudah diakses oleh anak, atau juga game-game elektronik yang kurang edukatif. Jika Anda turut mengawasi dan mendampingi anak dalam menontot televisi, mengakses internet, atau bermain game elektronik, tidak mustahil pengaruh-pengaruh negatif akan begitu mudah meracuni anak. Untuk itulah peran Anda sebagai orangtua sangat dibutuhkan.

Terbitnya buku ini pun memiliki tujuan yang sama, yakni membimbing dan mendidik anak secara baik dan Islami. Dengan mengangkat tema utama sejarah hidup Nabi Muhammad, anak-anak diharapkan akan terinspirasi dan termotivasi untuk meneladani jejak langkah serta akhlak beliau yang mulia.

Berbahagialah orangtua yang menjadikan anaknya berbudi dan berakhlak mulia sebagaimana akhlak Nabi Muhammad saw. Semoga buku ini dapat membantu Anda mencetak generasi Islami dan berakhlak luhur sebagaimana Nabi.

Sesuai karakter anak, dia tentu lebih suka buku-buku yang bergambar. Karena itulah buku ini pun dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang menarik dan memantik minat baca anak. Dan, agar tidak bosan atau jenuh, di setiap bagian diselipi pula permainan-permainan edukatif untuk menguji daya tangkap anak terhadap isi buku ini yang telah dibacanya.

Semoga buku ini bermanfaat dunia akhirat. Amin

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Info Penting
Untuk mendapatkannya, Anda bisa mengunjungi Toko Buku Gramedia terdekat atau langsung menghubungi penulis di email mama_rusyda@yahoo.co.id atau facebook Bundanya Babel Neswa.
Share:

Surgamu Ada pada Keridhaan Suamimu (4)

D.Tidak Keluar Rumah Tanpa Izin Suami

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 33)

Di antara hak suami yang wajib ditunaikan oleh istri adalah tidak keluar rumah (pergi), kecuali mendapat izin dari suami. Selain berdasarkan pada firman Allah dalam surah Al-Ahzab [33] ayat 33, kewajiban istri dikuatkan pula oleh beberapa sabda Nabi saw, di antaranya adalah sebagai berikut.

1.    “Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari Akhir bepergian dalam jarak sehari semalam, kecuali bersama-sama dengan mahramnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

2.    “Janganlah seorang istri bepergian selama dua hari tanpa disertai suami atau mahramnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3.    “Setiap wanita yang keluar dari rumahnya tanpa seizin suaminya maka dia berada dalam murka Allah swt hingga ia pulang ke rumahnya atau suaminya merelakan kepergiannya.” (H.R. At-Tirmidzi)

Dari beberapa dalil tersebut, bisa kita tarik suatu kesimpulan bahwa istri tidak boleh bepergian sendirian, kecuali mendapat izin dari suaminya atau dengan mahram yang ditunjuk oleh suaminya. Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan, kesucian, dan keselamatan istri saat dalam perjalanan. Bahkan, menurut Ibnu Qudamah, izin dari suami bersifat mutlak. Ia mengatakan bahwa suami berhak melarang istri keluar rumah sekalipun untuk suatu keperluan, semisal berkunjung ke rumah orangtuanya atau bertakziyah.

Ada satu kisah pada zaman Rasulullah yang bisa kita ambil pelajaran penting. Saat itu, ada seorang sahabat yang akan ikut pergi berjihad. Dia berpesan kepada istrinya supaya tidak keluar rumah sebelum kedatangannya dari berjihad. Beberapa hari setelah kepergian sang suami, datanglah seorang utusan yang mengatakan bahwa sang istri tersebut diminta untuk datang ke rumah orangtuanya karena ibunya sakit. Namun, wanita itu menolaknya dengan alasan sang suami melarangnya keluar rumah sampai kedatangannya dari berrjihad.

Hari berikutnya utusan itu datang lagi dan menyampaikan kabar bahwa sakit ibunya bertambah parah, dan ia diminta datang untuk menengok ibunya. Namun, wanita itu tetap menolaknya dengan alasan yang sama. Hari berikutnya utusan itu kembali lagi dan menyampaikan kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia, dan ia diminta untuk menyaksikan jenazahnya sebelum dikuburkan. Lagi-lagi wanita itu menolak dengan alasan yang sama.

Kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah wanita itu termasuk anak yang durhaka terhadap orangtunya?” Beliau menjawab, “Tidak, ia melakukan hal tersebut karena ingin menaati perintah suaminya. Sementara ibunya sekarang diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga karena ketaatan anaknya itu kepada suaminya.”

Termasuk juga dalam hal ini adalah apabila seorang istri keluar rumah untuk bekerja atau berkarier. Maka istri juga harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami. Karena, pada dasarnya mencari nafkah adalah kewajiban pokok suami. Namun jika suami tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, istri boleh saja bekerja membantu suami asalkan dengan izin suami. Tetapi, jika memang suami tidak mengizinkan, istri harus mematuhinya. Dan, sebagai konsekuensinya, berapa pun nafkah yang diberikan oleh suami hendaklah kita terima dengan lapang hati karena yang demikian ini lebih mendatangkan keberkahan.

Ada banyak faktor atau motivasi seorang istri menginginkan dirinya bekerja di luar rumah. Di antaranya sebagai berikut.

1.    Adanya tuntutan beban hidup.

Mayoritas istri yang menjadi wanita karier adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, yakni membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.

2.    Sebagai bentuk aktualisasi diri.

Tidak sedikit istri yang bekerja di luar rumah bukan karena alasan ekonomi, melainkan lebih karena dorongan aktualisasi diri. Istri seperti ini biasanya sudah bekerja sebelum menikah. Dia memiliki keahlian atau jabatan tertentu sebelum menikah, sehingga ketika menikah sangat sayang apabila pekerjaannya itu ditinggalkan begitu saja, walaupun sang suami telah memiliki pekerjaan yang mapan.

3.    Tuntutan masyarakat.

Tidak sedikit wanita yang bekerja di luar rumah karena tuntutan masyarakat yang tidak bisa ditinggalkan. Seperti menjadi dokter kandungan, bidan, mengajar anak-anak, atau pekerjaan lain yang hanya bisa ditangani oleh perempuan.

Bagi wanita yang terpaksa harus bekerja di luar rumah atau menjadi wanita karier, Iis Nur’aeni Afgandi dan Iis Salsabilah memberikan catatan berikut dalam bukunya, Ternyata Wanita Lebih Mudah Masuk Surga.

1.    Pekerjaan yang dipilih adalah pekerjaan yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini wanita harus pintar memilih jenis pekerjaan. Jangan terjebak oleh pekerjaan yang akan menjerumuskannya pada hal-hal yang haram, seperti porstitusi, pekerjaan yang mempertontonkan anggota badan, dan pengadaan barang-barang haram.

2.    Tetap teguh dengan identitasnya sebagai seorang wanita dengan cara tetap memenuhi adab sebagai seorang wanita muslimah, baik dalam berbicara, bergaul, dan bertingkah laku. Hal ini sebagaimana firman Allah swt, “Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak dari padanya ….” (Q.S. An-Nûr [24]: 31)

3.    Bagi wanita yang sudah menikah, ia harus mendapatkan izin dari suaminya. Segenting apa pun urusan istri, tanpa izin suami tidak boleh dilakukan, apalagi harus keluar rumah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Tiap istri yang keluar rumah tanpa izin suaminya, tetap berada dalam murka Allah sehingga kembali ke rumahnya atau dimaafkan oleh suaminya.” (H.R. Ahmad)

4.    Tidak mengabaikan tugas utama sebagai seorang istri dan ibu. Karena suami selalu membutuhkan istrinya, demikian juga anak-anak selalu membutuhkan ibunya.


image: lutfianurazizah.blogspot.com

NB. - Lebih lengkapnya tulisan ini, bisa Anda dapatkan dalam buku berjudul Ibadah-Ibadah Wanita yang Dirindukan Surga karya Anneswa Mahdeatul Haqq, yang insya Allah akan terbit dalam satuatau dua bulan mendatang.
Share:

Surgamu Ada pada Keridhaan Suamimu (3)

C. Berhias dan Bersolek untuk Suami
“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (istri) yang shalihah.” (H.R. Muslim)

Wanita shalihah yang dirindukan surga adalah wanita yang selalu mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Wanita shalihah selalu berusaha menampakkan kebersihan dirinya, kebersihan lingkungannya, rumahnya, dan memperindah segala hal yang berkaitan dengan dirinya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyenangkan suaminya, supaya sang suami selalu sayang kepadanya.

Istri shalihah juga tahu bahwa mengabaikan keindahan diri dan tidak menjaga kebersihan akan membuat suami tidak betah di rumah dan menjauh darinya. Namun, fenomena yang kita lihat bahwa kebanyakan wanita akan bersolek dan mengenakan pakaian bagus apabila ia kelaur rumah, tetapi saat berada di rumah, mereka justru tidak mempercantik diri. Mereka memakai pakaian sekenanya yang tak jarang terlihat lusuh.

Ketahuilah wahai para istri shalihah, sesungguhnya di luar sana, ketika suami bekerja, dia mempunyai rekan kerja wanita yang selalu berhias diri, berpakaian rapih, dan selalu terlihat cantik. Apabila seorang istri tidak memperhatikan hal ini, dan seorang istri tidak pernah berdandan ketika di dalam rumah, tidak menutup kemungkinan suami akan merasa bosan dengan keadaan istri. Kemudian, secara tidak langsung atau tidak sengaja, suami pasti akan membandingkan antara keadaan istrinya yang lusuh dan kumal dengan rekan kerjanya yang selalu tampil rapi, wangi, dan menarik hati.

Karena itulah, supaya hati suami selalu terjaga, dan dia tidak akan berpaling kepada wanita lain, berdandanlah untuk suami, selalulah tersenyum menyambut kedatangannya, serta lakukan semua hal yang membuatnya semakin menyukai dan mencintai kita.

Dari Abdullah bin Salam r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik istri ialah yang menyenangkanmu bila kamu memandang(nya), dan taat kepadamu bila kamu menyuruh(nya), serta menjaga dirinya dan harta bendamu saat kamu tidak berada bersamanya.” (H.R. Ath-Thabrani)

Dalam hadits di atas disebutkan ‘yang menyenangkanmu bila kamu memandang(nya)’, ini berarti istri tersebut selalu berpenampilan cantik. Kecantikan adalah anugerah Allah. Jadi, seandainya kita merasa bukanlah golongan wanita yang cantik secara fisik, tidak berwajah seperti artis, tidak bertubuh layaknya model. Namun, tetap saja kita diwajibkan bersolek dan berhias untuk suami. Yakinkan diri bahwa di hadapan suami, kitalah wanita yang paling cantik baginya.

Selain itu, bersolek dan berhias diri yang didasari atas perintah Allah swt pastilah akan memancarkan aura kecantikan tersendiri dari dalam. Barangkali itulah inner beauty yang bersumber dari cahaya ilahiah. Dengan kekuatan iman dan ketakwaan kepada Allah swt, aura kecantikan seorang muslimah shalihah akan menyembul dari dalam. Tengok saja tokoh sufi wanita Rabiah Al-Adawiyah, tubuhnya kering kurus, wajahnya layu tanpa make up, jalannya selalu menunduk, tidak ada lenggak-lenggok layaknya model, tidak ada kata-kata manja seolah merayu setiap lelaki yang ditemuinya, tidak ada senyum genit yang membuat lelaki terpesona. Akan tetapi, karena ketakwaannya kepada Allah, banyak lelaki terhormat yang terpana dan ingin meminangnya. Mereka melihat Rabi’ah begitu anggun, cantik, dan menarik.

Inilah kunci kita sebagai seorang istri. Beriman, bertakwa kepada Allah, dan selalu berperilaku yang menyenangkan suami. Menyenangkan hati suami berarti membuatnya ridha kepada kita. Jika suami ridha maka Allah pun akan memberikan ridha-Nya kepada kita. Nah, jika Allah telah ridha, Dia tentu akan mencintai kita karena keshalihan kita. Tentu saja suami akan selalu memandang kitalah wanita tercantik di dunia.
image: aydashomel.blogspot.com
Share:

Surgamu Ada pada Keridhaan Suamimu (2)

B. Menjaga Diri Sendiri, Keluarga, dan Suami
“Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (Q.S. An-Nisâ` [4]: 34)

Kewajiban lain seorang istri adalah menjaga dirinya ketika suami tidak ada di sampingnya. Misalnya, saat suami pergi, istri tidak seenaknya mengizinkan orang lain atau lelaki lain masuk ke rumah tanpa izin dari suami, karena bisa menimbulkan fitnah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, karena kuatnya godaan syaitan, bisa saja kita terjatuh dalam perzinaan dengan tamu tersebut. Bukankah ketika laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi, maka yang ketiga di antara mereka adalah syaitan?

Nabi saw bersabda, “Hak kalian (suami) yang harus dilaksanakan oleh istri kalian adalah mereka tidak boleh mempersilakan laki-laki yang kalian tidak sukai menginjak tempat tidur kalian, dan tidak (pula) mengizinkan masuk ke rumah kalian orang yang tidak kalian sukai.” (H.R. Ibnu Majah dan At-Timirdzi)

Dengan mengedepankan akhlakul karimah dan berpegang pada aturan syari’ah, harga diri dan kehormatan kita sebagai istri akan terjaga. Jika kita telah berpegang pada keduanya, godaan apa pun yang menghampiri tidak akan menggoyahkan kehormatan dan harga diri kita sebagai seorang istri.

Selain menjaga kehormatan dan kesucian diri sendiri, istri juga berkewajiban menjaga hak-hak anak dan suami. Adapun bentuk penjagaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1.    Menjaga rahasia-rahasia suami.

Seorang istri wajib menjaga rahasia suami, dan menjaga rahasia yang terjadi di antara keduanya. Khususnya menyangkut hal-hal yang tidak layak diketahui orang lain, seperti urusan jima’ (hubungan seksual) dan urusan-urusan pribadi lainnya. Akan tetapi bagi kebanyakan wanita, sulit untuk menjaga lisannya. Tidak sedikit istri yang menceritakan kebiasaan buruk suaminya, mengumbar aibnya. Padahal kita tahu, bahwa aib suami adalah aib kita juga.

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Asma’ binti Yazid bahwa ia pernah duduk bersama Rasulullah dan banyak orang, baik pria maupun wanita. Lalu beliau bersabda, “Mungkin di antara kalian ada lelaki yang menceritakan apa yang dilakukan istrinya, dan mungkin ada perempuan yang menceritakan apa yang dilakukan suaminya.” Seketika itu juga semua orang terdiam. Lalu Asma’ binti Yazid berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah berbuat demikian.” Maka beliau bersabda, “Janganlah kalian berbuat demikian. Sebab, sesungguhnya yang demikian itu seperti syaitan lai-laki bertemu dengan syaitan perempuan di persimpangan jalan, lalu syaitan laki-laki menyetubuhi syaitan perempuan, sedangkan semua orang melihatnya.” (H.R. Ahmad)

2.    Menjaga anak-anaknya.

Menjaga anak-anak maksudnya adalah merawatnya, memberi mereka pendidikan agama, dan menjaga kesehatannya. Apabila suami mempunyai anak dari istri yang lain, maka kita tetap harus menjaganya seperti menjaga anak kita sendiri.

Wanita shalihah bertanggung jawab terhadap pendidikan buah hatinya. Dan, hal ini tidak bisa dipindahtangankan kepada orang lain. Karena dalam diri seorang ibu ada tangan-tangan emas dan ajaib yang dapat menciptakan putra-putri shalih dan shalihah. Karena itulah wanita shalihah tidak akan menyia-nyiakan proyek pahala ini begitu saja sehingga jatuh ke tangan orang lain.

Nabi saw bersabda, “…Wanita adalah penggemba-la, dan bertanggung jawab terhadap gembalaannya....” (Muttafaq ‘alaih)

3.    Menjaga harta suami.

Termasuk hak suami yang mesti ditunaikan oleh istri adalah menjaga harta suami. Istri tidak boleh menginfakkan sebagiannya, kecuali mendapat izin dari suami. Nabi saw bersabda, “Janganlah seorang istri menginfakkan sesuatu pun dari rumah suaminya, kecuali atas izin suaminya.” Ada yang bertanya, “Dan tidak (pula) makanan?” Beliau menjawab, “Itu adalah harta benda kita yang paling utama.” (H.R. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Maukah kukabarkan kepada kalian tentang simpanan yang paling berharga? (Yaitu) istri yang shalihah, istri yang apabila dipandang oleh suami, ia menyenangkan; jika diperintah (suami), ia menaatinya; jika ditinggal (suami), ia menjaga kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa`i)

Menjaga harta suami tentu saja tidak hanya menjaga keamanannya. Lebih dari itu, seorang istri yang shalihah harus pandai pula mewaspadai perolehan harta tersebut agar terjauhkan dari yang haram serta membelanjakannya hanya pada jalan yang benar.

4.    Menjaga hubungan baik dengan sanak kerabat dan famili suami.

Menghormati keluarga suami dan menjaga hubungan baik dengan mereka merupakan satu kewajiban tersendiri bagi muslimah shalihah. Jangan sampai karena hal sepele, seorang istri bermusuhan dengan ibu mertuanya. Kasus seperti ini sering kita lihat. Jangan sampai sebagai muslimah shalihah kita merenggangkan hubungan dengan keluarga dan sanak saudara suami, terutama sang ibu dari suami.

image: muslimdaily.net
Share:

Surgamu Ada pada Keridhaan Suamimu (1)

Suami dan istri, masing-masing memikul kewajiban dan memiliki hak yang adil antara keduanya. Setiap hak dan kewajiban itu berpotensi secara berimbang membawa suami dan istri menuju surga atau justru menggiring mereka menuju neraka. Apabila hak dan kewajiban itu dipenuhi oleh keduanya maka surgalah tempat keabadian mereka. Sebaliknya, apabila hak dan kewajiban itu tidak tertunaikan dengan baik maka nerakalah balasannya.

Bagi seorang muslimah yang sudah berstatus sebagai istri, ia mendapat jaminan surga apabila kewajiban-kewajibannya ditunaikan dengan baik dan hak-hak suami terpenuhi secara baik juga. Salah satu bekal untuk mendapatkan jaminan surga bagi istri adalah keridhaan suami.

Menurut istilah syari’at, ridha artinya adalah seorang hamba tidak mengeluh terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya. Ibarat seorang pasien, misalnya, ia ridha meminum obat walaupun obat itu pahit dan sebetulnya dia menderita karena rasa pahit itu. Namun, si pasien tetap ridha dengan obat itu dan merasa tenteram dengan mengonsumsinya juga mau menerimanya, walaupun dalam waktu yang sama dia merasakan pahitnya obat tersebut. Keridhaan ini didorong oleh keinginan si pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Begitu pula keridhaan suami terhadap kita, tiada lain adalah karena kita mengharapkan keridhaan yang tertinggi, yaitu keridhaan Allah swt.

 Ada banyak hal yang bisa menarik keridhaan suami kepada kita, yang kesemuanya akan bermuara pula pada kewajiban-kewajiban kita kepada suami tercinta. Jika kita mampu memenuhi kewajiban-kewajiban itu, niscaya pintu-pintu surga akan berebut memanggil kita agar masuk ke dalamnya. Apa saja hak-hak suami yang wajib kita penuhi?

A. Menaati Suami
“Hak suami atas istri ialah tidak menjauhi tempat tidur suami dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, menaati perintahnya, tidak keluar (meninggalkan) rumah kecuali dengan izin suaminya, dan tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang yang tidak disukai suaminya.” (H.R. Ath-Thabrani)

Setiap orang yang memerintahkan sesuatu kepada orang lain, pasti ia menghendaki perintahnya itu ditaati dan dilaksanakan dengan baik. Demikian halnya dengan suami. Tatkala ia memerintahkan sesuatu kepada istrinya, pasti ia berharap agar perintahnya ditaati dan dilaksanakan dengan oleh sang istri.

Betapa kesalnya hati seorang suami apabila perintahnya tidak ditaati oleh sang istri. Jangankan tidak ditaati, ketika perintahnya dilaksanakan tidak sesuai dengan harapannya pun tak urung akan menimbulkan kekesalan tersendiri bagi suami. Apalagi jika perintahnya tak diindahkan, dilecehkan, atau bahkan dibantah, betapa marahnya suami.

Sehebat apa pun prestasi duniawi kita hingga mengalahkan prestasi sang suami, kita tetap tidak dibenarkan merendahkan atau meremehkan perintah suami. Ketaatan terhadap perintah suami adalah ketaatan yang bersifat mutlak bagi setiap istri. Ketaatan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Dan, taat kepada suami menjadi salah satu ciri wanita penghuni surga.

Ketaatan kepada suami dan bersikap hormat kepadanya dapat meninggikan derajat pahala seorang istri hingga menyamai derajat pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt. Sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang wanita datang mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan kaum wanita kepadamu.” Lalu wanita itu menyebutkan keuntungan yang diperoleh kaum laki-laki dari berjihad dan lainnya berupa pahala dan harta rampasan perang. “Lalu apa yang kami peroleh dari semua itu?” Tanya wanita tersebut. Kemudian Rasulullah menjawab, “Sampaikanlah kepada setiap wanita yang kamu jumpai bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya mengimbangi pahala semua itu. Tetapi, sayangnya sedikit sekali di antara kalian yang mampu melakukannya.” (H.R. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)

Begitu pokoknya ketaatan kepada suami sampai-sampai Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatâwâ mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri setelah menunaikan kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali terhadap suami.

Sementara itu, ketidaktaatan kepada suami akan berujung pada murka Allah swt, sebagaimana sabda Nabi saw, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu sang istri menolak ajakan suaminya, melainkan Allah akan terus-menerus murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” (H.R. Muslim)

Apakah dengan dalil tersebut berarti setiap keinginan dan perintah suami harus kita taati? Tentu tidak! Hanya keinginan dan perintah yang tidak bertentangan dengan syari’at yang wajib kita penuhi. Dan, apabila keinginan atau perintah itu berupa kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hukum Islam, istri wajib menolaknya karena Rasulullah saw telah bersabda, “Tiadalah ketaatan seseorang terhadap perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya ada dalam kebajikan semata.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i)

Namun, kalaupun kita harus menolak perintah suami, hendaklah penolakan itu dilakukan dengan cara yang arif. Sedapat mungkin suami tidak kecewa atas penolakan kita. Bahkan, kalau bisa kita justru menyadarkan suami atas perintah maksiat yang ia berikan.
Share:

Doa bagi Pasangan yang Mandul

Bagi Anda yang belum dikaruniai keturunan, hendaklah bersabar dan selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan. Hendaklah pula Anda mengamalkan doa ini, terutama setelah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah—terutama shalat Tahajud dan shalat Hajat.

رب لا تذرنى فردا وأنت خير الوارثين

Bismillâhirrahmânirrahîm rabbi lâ tadzarnî  fardan wa anta khairul wâritsîn.
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ya Allah, janganlah Engkau biarkan daku seorang diri, padahal engkau sebaik-baik pewaris.

**Selesai**
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (6)

Belajar Kepada Nabi Zakariya a.s.
Bagi Anda yang belum dikaruniai amanah berupa momongan, tidaklah perlu berkecil hati. Mari, kita tengok sejenak kisah Nabi Zakariya. Usia Nabi Zakariya bisa dikatakan sudah amat tua, rambutnya telah memutih, dan tulang-tulangnya pun tampak rapuh. Ia tidak dapat berjalan kecuali hanya pergi ke tempat ibadah yang telah menjadi kebiasaannya dan menyampaikan nasihat-nasihatnya, kemudian diteruskan dengan beribadah. Setelah itu, pada pengujung hari, ia kembali untuk menghabiskan gelap malam bersama istrinya yang juga sudah renta di rumahnya.

Nabi Zakariya sangat ingin memiliki seorang anak. Namun, harapan itu hanya dipendam dalam hatinya. Ia tahu, usianya dan istrinya sudah sangat renta. Sampai suatu hari, ketika ia menjenguk Maryam di mihrabnya, didapati keponakannya yang dalam pengasuhannya itu tengah mendapatkan rezeki berupa buah-buahan yang tidak pada musimnya. Padahal, Zakariya tak pernah mengizinkan orang lain untuk menjenguk Maryam. Dia benar-benar menjaga kesucian gadis yang ahli ibadah itu. Nabi Zakariya pun terheran-heran, dari mana Maryam mendapatkan buah-buahan itu.

Zakariya lalu bertanya kepada Maryam, “Wahai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah. Saat pagi datang aku melihat rezeki itu telah ada dan ketika sore tiba aku melihat rezeki itu telah ada. Padahal aku tidak mengusahakan rezeki tersebut, dan tidak pula meminta kebaikan itu kepada Allah. Rezeki itu mendatangiku sebagai sebuah anugerah, dan aku pun menemukannya di hadapanku dengan mudah. Lalu, mengapa paman merasa bingung dan aneh? Bukankah Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas?”

Keterangan dari Maryam itu telah menyadarkan Zakariya bahwasanya rahmat Allah itu sangat luas. Bila Allah Mahakuasa memberi rezeki kepada Maryam berupa buah-buahan dalam mihrabnya, tentulah mudah bagi Allah untuk memberinya seorang anak, bila Dia menghendaki. Ya, meskipun dirinya dan istrinya sudah tua renta dan tidak lagi produktif, tetapi segala sesuatu adalah mudah bagi Allah.

Dengan keyakinan dan keimanan yang kuat, Zakariya lalu berdoa kepada Allah swt.,
”Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (orang-orang yang akan mengatur urusan orang banyak) sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah bagiku dari sisi-Mu seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (Q.s. Maryam [19]: 4-6)

Allah pun menjawab doanya, “Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu (yaitu engkau) akan (memperoleh) seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia,” (Q.s. Maryam [19]: 7). Demikianlah, akhirnya Allah mengaruniakan Yahya, seorang anak yang shalih lagi cerdas kepada Nabi Zakariya.
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (5)

Jangan Berputus Asa
Apakah ketika Allah belum juga menganugerahi keturunan, lalu kita merasakan keputusasaan dan menyerah dengan keadaan? Bukankah Allah swt. telah berfirman, “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Q.s. Yusuf [12]: 87)

Dalam ayat yang lain disebutkan, “Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Q.s. Al-Hijr [15]: 55-56)

Rasulullah juga menegaskan bahwa putus asa adalah dosa. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?” Rasulullah menjawab, “Syirik kepada Allah, pesimis terhadap karunia Allah, dan berputus asa dari rahmat Allah.” (H.r. Thabrani)

Putus asa dan pesimis adalah sifat orang-orang yang sesat dan juga sifat orang-orang kafir. Mereka tidak mengetahui bahwa rahmat Allah itu sangatlah luas. Hasan Al-Banna pernah berkata, “Janganlah engkau putus asa karena putus asa bukanlah akhlak seorang muslim. Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok.”


image: http://www.fiqhislam.com
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (4)

Jangan Lupa Berdoa dan Berusaha
Saat seorang mukmin menghadapi kesulitan dalam hidupnya, semestinya ia tidak berpangku tangan begitu saja tanpa berusaha. Berikhtiarlah! Bagi pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak dapat berikhtiar dengan banyak cara, seperti berkonsultasi dengan para ahli (orang yang berpengalaman dalam masalah ini), meminum obat-obatan atau ramuan-ramuan, dan mengonsumsi makanan-makanan yang mampu meningkatkan kesuburan. Selain itu, jalan usaha juga bisa ditempuh dengan memperkaya pengetahuan tentang bagaimana proses terjadinya pembuahan dan fungsi alat reproduksi. Ini termasuk hal yang tidak ada salahnya untuk dicoba.

Sejurus dengan itu, hal yang paling fundamental adalah doa. Seorang muslim tidak sepantasnya menyandarkan pada usahanya semata, semua terjadi karena Allah-lah Sang Penentu Tunggal. Giatlah berdoa agar Allah memberikan anugerah-Nya berupa anak yang mampu menyejukkan hati dan mata kita.

Satu lagi yang perlu diingat, termasuk di antara bentuk usaha adalah dengan memperbanyak bertaubat dan beristighfar. Firman Allah swt., “… beristighfarlah kepada Rabb-mu. Sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. (Jika kalian beristighfar), niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat atas kalian, juga memberi banyak harta dan anak keturunan ....” (Q.s. Nuh [71]: 10-12)

Bagi pasangan yang belum dikarunia keturunan, berdoa dan berikhtiar adalah dua hal yang harus dilakukan secara bersamaan. Berdoa untuk mendapatkan anak tidak boleh putus dipanjatkan. Seperti doa dan kesabaran yang diteladankan oleh Nabi Zakariya, yang baru dikaruniai anak setelah ia dan istrinya berusia 90-an tahun. Doa beliau  kemudian oleh Allah diabadikan dengan indah dalam Al Qur'an. Allah berfirman, “Dia (Zakariya) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” (Q.s. Maryam [19]: 4)

Selagi itu, berupaya semaksimal mungkin dengan mempergunakan kemajuan teknologi ilmu kedokteran juga dianjurkan. Ada kasus, seorang istri yang sudah dioperasi rahimnya, namun dengan kekuasaan Allah, dia tetap bisa mempunyai anak. Kuncinya adalah sabar, banyak berdoa, dan memupuk keyakinan bahwa Allah Mahakuasa.
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (3)

Jangan Saling Menyalahkan
Sebagaimana makhluk hidup yang lain, manusia membutuhkan keturunan untuk mewarisi dan meneruskan kelangsungan hidupnya. Itulah mengapa anak menjadi dambaan setiap keluarga. Anak bagaikan permata dalam kehidupan mereka. Penyejuk mata ketika keletihan menyapa, menjadi tempat berteduh ketika masa senja (lansia) mulai tiba.

Sekian lama belum dikarunia anak, tentu akan membuat pasangan suami istri risau dan gelisah. Dalam kasus seperti ini, istrilah yang biasanya merasakan beban paling berat. Apalagi ada pandangan bahwa penyebab semua itu adalah dari pihak istri. Ia yang mandul dan tidak bisa melahirkan keturunan. Padahal, bukanlah seperti itu. Bukanlah salah istri, karena setiap takdir Allah-lah yang telah menggariskannya. Lagipula, tidak selalu istri yang menjadi penyebabnya, pihak suami sering pula menjadi faktor penyebab belum dikaruniai anak.

Oleh karena itu, tidak saling menyalahkan atau sikap saling memahami adalah jalan terbaik dalam menghadapi ujian ini. Hendaknya, pasangan suami istri yang belum dikaruniai buah hati saling memberikan dukungan dan nasihat. Saling menasihati untuk bersabar atas takdir yang diberikan Allah. Dengan sikap seperti ini, diharapkan suami dan istri dapat saling menguatkan di tengah badai ujian Allah.

Memang benar, bila buah hati yang dinanti tak kunjung hadir, seringkali yang muncul adalah konflik-konflik rumah tangga yang berkepanjangan. Konflik ini biasanya muncul karena stres (tekanan), entah tekanan yang muncul dari pasangan yang menyalahkan atau kurang men-support atau tekanan dari lingkungan keluarga yang kurang empati dan menyudutkan.

Menghadapi kondisi demikian, janganlah Anda terbawa emosi karena justru bisa menyulut stres yang semakin meninggi. Kuncinya, harus sabar dan saling pengertian, serta saling mendukung antarpasangan sehingga semua pertanyaan yang gencar dari pihak keluarga atau lingkungan tidak sampai membuat pasangan—terutama istri— tertekan (stres atau bahkan depresi). Hadapi saja dengan manis dan teruslah meminta dukungan doa mereka. Misalnya, dengan berkata, “Iya nih, saya belum dikasih momongan oleh Allah. Mohon doanya ya.”

Apabila telah diketahui bahwa pasangan hidup kita mengalami kemandulan atau sekadar infertil (tidak subur) maka tidak selayaknya kita marah-marah atau menyudutkan pasangan. Kalau perlu besarkan dan kuatkan hatinya. Berbicaralah kepadanya dengan penuh kelembutan. Perlu diketahui juga bahwa vonis mandul itu sangat menyakitkan hati. Pasangan kita sangat terpukul.

Saat seperti itu, biasanya seseorang akan sangat sensitif. Jika istri dinyatakan mandul, suami tak perlu menambah beban kepadanya dengan cacian atau cercaan. Istri sangat membutuhkan dukungan suami. Jika suami justru menyudutkannya, betapa sakit luka yang dia tanggung. Suami hendaklah mengambil kesempatan untuk membesarkan hati sang istri.

Allah swt. berfirman, “Dan, sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 155)

Makna ayat tersebut dalam konteks pembahasan ini adalah kesadaran bahwa apa pun musibah atau cobaan hidup yang kita hadapi (termasuk kesulitan mendapatkan keturunan) adalah kehendak-Nya. Mengapa Allah memberikan cobaan kepada kita? Jawabannya, tiada lain untuk menguji kematangan kita dalam beragama.

Jika kita telah menyadari bahwa cobaan hidup dari Allah itu merupakan pematangan kedewasaan kita dalam beragama, kita juga harus sadar bahwa kekurangan dari pasangan kita adalah anugerah dari Allah. Yakinlah, semua ini terjadi supaya kita lebih dekat kepada-Nya, supaya kita tidak meninggalkan dzikir kepada-Nya. Bukankah Allah lebih mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi nanti.

Dalam hadits qudsi disebutkan bahwa Allah swt. berfirman, “Tidak ada seorang hamba pun yang terkena musibah, lalu berpegang kepada-Ku, kecuali Aku akan memberinya sebelum ia meminta kepada-Ku, dan Aku akan mengabulkan sebelum ia berdoa kepada-Ku. Dan, tidak ada seorang hamba pun yang terkena musibah lalu bergantung kepada makhluk selain Aku, kecuali Aku tutup pintu-pintu langit baginya.”

Melalui hadits qudsi inilah Allah swt. mengajarkan cara mengatasi musibah, yaitu dengan bermunajat kepada-Nya.

Image: fiqhislam.com
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (2)

Bentuk Ujian dan Cobaan
Setiap manusia di dunia ini tak akan lepas dari ujian Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah swt. berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 155)

Belum mendapatkan momongan meskipun telah lama mengarungi bahtera rumah tangga adalah salah satu bentuk dari berbagai macam ujian yang Allah berikan kepada manusia. Kebanyakan orang mengira bahwa ujian hanya datang dalam bentuk kesulitan atau musibah. Mereka tidak menyadari bahwa melimpahnya nikmat juga merupakan ujian yang diberikan Allah. Banyak di antara mereka yang mampu melalui ujian dan bersabar ketika mendapatkan kesulitan, namun sangat sedikit yang mampu melampaui ujian berupa kenikmatan sehingga mereka pun lengah dan lalai.

Allah Ta'ala berfirman, “… dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kami, kamu akan kembali.” (Q.s. Al-Anbiyâ' [21]: 35)

Allah juga berfirman, “Adapun sebagian manusia apabila diberi ujian oleh Tuhannya yaitu diberi tempat yang mulia dan diberi kenikmatan kepadanya, maka ia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakan aku.’ Adapun apabila Tuhannya mengujinya dengan membatasi rezekinya, dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinakan aku.” (Q.s. Al-Fajr [89]: 15-16)

Janganlah bersedih karena Anda tidak sendirian. Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya pun bernasib serupa. Mereka dikaruniai keturunan oleh Allah ketika usia mereka telah lanjut. Juga Ummul Mukminin, Aisyah, orang yang paling dicintai Rasulullah, bukankah sampai akhir hayatnya ia tidak dikaruniai keturunan? Wahai Muslimah, hendaklah kita mencontoh kesabaran mereka.

Image: silatama.com
Share:

Jika Buah Hati Tak Kunjung Hadir (1)

“…dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kami, kamu akan kembali.”
(Q.s. Al-Anbiya': 35)

Sabar Menanti
Betapa Bahagianya wanita saat ia melahirkan seorang bayi mungil dari rahimnya sendiri. Rasa sakit saat melahirkan pun seketika hilang bersamaan dengan suara tangis bayi, yang menandakan lahirnya penghuni baru di bumi ini. Haru bercampur bahagia. Itulah yang dirasakan seorang ibu saat kelahiran bayinya.

Setiap detik pertumbuhan sang bayi adalah kejutan, kebanggaan, dan kebahagiaan bagi orangtuanya. Ketika anak mulai bisa tengkurap, merangkak, berjalan, dan mengucap sepatah atau dua patah kata, orangtua akan merasa girang bukan kepalang. Rumah tak lagi sunyi dengan hadirnya si buah hati. Suara canda, tawa, dan tangisnya akan selalu mengisi hari-hari. Saat orangtua harus meninggalkan rumah untuk mencari nafkah, terbayang kelucuan anaknya sehingga ia pun ingin segera pulang untuk melepas kerinduan.

Kehadiran anak merupakan sunnatullah yang muncul dari fitrah kemanusiaan. Bahkan, para nabi seringkali memanjatkan doa berkaitan dengan harapan untuk memiliki buah hati. Ilustrasi ini menegaskan betapa pentingnya kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Berbahagialah Anda yang telah dikaruniai anak, dan bersabarlah jika sampai saat ini belum dikaruniai keturunan. Ingatlah bahwa  di balik kesabaran itulah Allah akan menurunkan pertolongan-Nya. Dia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Baqarah [2]: 153)

Makna sabar yang sesungguhnya adalah rela menerima sesuatu yang tidak disenangi dengan rasa ikhlas serta berserah diri kepada Allah. Memang ada proses yang tidak mudah di sini, apalagi ketika sampai pada taraf rela menerima sesuatu dengan tulus meskipun tidak disenangi. Karenanya, tak heran bila kedudukan sabar ini disejajarkan dengan shalat, sebagaimana ayat di atas.

Bersabarlah, karena ketentuan Allah pastilah yang terbaik bagi kita. Barangkali, kita memang belum benar-benar siap untuk menjadi orangtua yang baik. Mungkin pula, Allah memang sengaja menguji kesabaran kita. Berbaiksangkalah kepada Allah atas segala ketetapan-Nya.

Image: http://muslimahfathina.co.cc
Share:

Belajar Huruf Hijaiyah

Belajar Huruf Hijaiyah
"A.. Ba.. Ta.. Ta.." suara Babelhaqq lantang membaca satu persatu huruf hijaiyah
"Loh kok habis Ta, dibaca Ta lagi?? Tsaaa... sayang, lidahnya keluar dikit!" kata Bunda
"Tssss.....ta!" ucap Babel kesulitan yang akhirnya melahirkan lafadz Ta juga. Hehehee.. maklum Babel yang umur 2,5 tahun masih celat. “Tsssssss…… ta!” ucapnya sekali lagi, dia tak putus asa, ingin bisa melafadzkan huruf tsa.
“He..he… ya sudah, besok kalo sudah besar, mas Babel pasti bisa ngucap tsa! Okee..”
“Tssssss…..ta, hahahahaa…” ucap Babel sekali lagi sambil tertawa, menyadari kesalahannya.
“Sekarang lanjut ya, yang ini perutnya gendut… ada titik tengahnya, bacanya Ja!” kata Bunda
“Ta!” pede sekali Babel melafadzkan huruf Ja menjadi Ta.
“Sayang… kok Ta sih.., ini Ja!”  
“Ja..Ja…Ja..Ja..Ja” suara Babel keras. Memang biasanya kalo dia lupa satu huruf, dengan sendirinya Babel akan sadar, bahwa nanti pasti suruh ngulang sampe sepuluh kali, hehehee. Aduuuh… jadi terharuuuu…ruuu…
Begitulah kegiatan Babel mengaji. Eittss… babel gak mau ngaji pake iqra’, atu huruf hijaiyah cetakan lainnya. Setiap ngaji tangannya pengang pastel warna, sambil diajari Bunda menulis huruf hijaiyah yang akan dibacanya. Ternyata cara ini efektif loh bagi anak biar cepet hafal. Selain bisa melafadzkan, si kecil juga bisa menulis.
Pesen Bunda dan Baba… jadi anak sholih, cerdas, berbakti pada orangtua. Doa Baba dan Bunda selalu terucap untukmu…

Share:

Popular Posts