Sebenarnya kami hanya beberapa kali bertemu, belum genap sepuluh kali. Namun, nasihat beliau benar-benar membekas dalam diri saya. Beliau memberikan motivasi jika saya menyukai dunia tulis-menulis untuk tetap menulis. Bahkan, tidak mendaftarkan diri sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta pun tidak masalah. Asalkan konsisten dalam menulis, insya Allah tetap akan hidup layak, begitulah nasihat beliau. Dan nasihat tersebut terbukti. Meskipun saya hanya mengandalkan ma’isyah (penghidupan) dari menulis dan menerjemahkan buku, tetapi tetap hidup layak sebagaimana mereka yang bekerja pada instansi pemerintah atau swasta. Meskipun tidak bergelimangan materi dan kemewahan, tetapi merasa cukup dengan apa yang ada.
Suatu saat saya mengundang Kiai Mujab Mahalli kira-kira setahun sebelum beliau wafat. Saat itu malam sudah semakin larut. Hingga hampir jam sepuluh beliau belum sampai ke tempat kami. Padahal jarak dari pondok beliau ke masjid kami lumayan jauh. Meskipun saat itu sudah ada Handphone, tetapi penggunanya masih terbatas pada kalangan menengah ke atas. Masyarakat umum belum mampu membeli Handphone. Bahkan telepon rumah pun kami belum punya. Satu-satunya cara tepat untuk berkomunikasi cepat hanyalah melalui wartel. Dan ketika saya menghubungi beliau via telepon, ternyata beliau masih ada di pesantren dan sedang menerima tamu dari Arab.
Setelah menunggu relatif lama akhirnya Kiai Mujab sampai juga ke masjid kami. Jam sebelas beliau baru naik podium. Sebelumnya beliau menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatannya. Keterlambatan tersebut disebabkan karena ada duta dari Arab yang wawancara seputar kiat sukses beliau. Beliau menjawab, “Kesuksesan saya adalah karena ibu saya.”
Beliau bercerita tentang ibunya. Dahulu ibunya menikah dengan ayahnya. Saat itu sang ayah, Kiai Mahalli sudah berusia lanjut, sedangkan usia ibunya masih muda. Di usia kepala tiga, sang ibu sudah harus menjadi janda karena sang suami meninggal dunia.
Dengan ekonomi yang kekurangan dan harus mengasuh beberapa anak, sang ibu tidak menjadi putus asa. Ia tetap berjuang demi buah hatinya tetap bisa bertahan. Dan ternyata perjuangannya tidak sia-sia. Beberapa anaknya ada yang menjadi kiai dan ada yang menjadi dosen di Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakata.
Kiai Mujab pernah mengisahkan bahwa beliau tidak pernah pergi melainkan berpamitan terlebih dahulu kepada ibunya. Setelah ibunya merestui barulah beliau pergi. Jika ibunya tidak merestui, maka beliau tidak jadi pergi.
Suatu ketika Kiai Mujab pernah pergi untuk mengisi pengajian di luar kota. Beliau belum sempat meminta izin kepada ibunya. Tiba-tiba istri beliau menelepon dan mengabarkan jika sang ibu menangis karena beliau pergi tidak berpamitan terlebih dahulu. Akhirnya beliau meminta kepada sang istri, ibu Nadhirah, untuk memintakan izin kepada ibunya. Jika ibunya merestui kepergiannya maka beliau akan terus pergi, tetapi jika tidak maka beliau akan membatalkan kepergiannya dan pulang kembali ke rumah. Beberapa saat kemudian istri beliau menelepon dan mengabarkan bahwa ibu sudah bisa tersenyum. Beliau pun melanjutkan kepergiannnya untuk mengisi pengajian.
Begitu baktinya kepada sang ibu sehingga kepergian untuk kemaslahatan pun akan dibatalkan jika ibunya tidak merestui. Lalu bagaimana kesuksesan Kiai Mujab? Hingga akhir hayatnya tidak kurang dari seratus enam puluh judul buku yang beliau tulis. Dan banyak di antara buku beliau yang mengalami cetak ulang. Bahkan beberapa buku dicetak ulang lebih dari dua puluh kali. Royalti dari buku-buku beliau per tahun tidak kurang dari seratus juta. Bahkan jikalau royalti hanya seratus juta maka beliau menganggap hanya mendapat sedikit sekali. Hingga beliau sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, namun karya-karya beliau masih dimanfaatkan masyarakat sampai saat ini.
Dari uang yang royalti buku tersebut beliau bisa berhasil membangun pondok pesantren Al-Mahalli yang bisa menampung lebih dari dua ratus santri. Padahal, beliau membangun pesantren dari nol, bukan pesantren warisan sang ayah. Selain santri diajar mengaji, santri di Pondok Pesantren Al-Mahalli juga diajarkan jurnalistik, beternak, memelihara ikan, menjahit, dan sebagainya.
Selain sukses sebagai kiai dengan ratusan santri dan sukses sebagai penulis buku yang menghasilkan lebih dari seratus karya, Kiai Mujab juga sukses dalam memberdayakan masyarakat. Saat para kiai masih mengharamkan KB beliau justru mendirikan klinik untuk KB. Beliau juga dekat dengan para politisi dan orang-orang penting. Berbagai penghargaan telah beliau terima sejak zaman presiden Soeharto hingga Presiden Megawati Soekarno Putri.
Akhirnya beliau wafat meninggalkan sekian banyak jasa. Ribuan orang menghadiri acara pemakamannya baik dari kalangan para ulama, politisi, konglomerat, maupun rakyat jelata. Dusun Brajan dipenuhi oleh para pelayat yang mengantarkan kepergian beliau. Sri Sultan, Gus Dur, dan banyak orang besar yang datang takziyah. Dusun Brajan pun banjir air mata karena kepergian “Gus Dur”-nya Yogya tersebut.
*) Catatan Ust. M. Syafi’i Masykur dalam bukunya Berbakti kepada Ibu (Citra Risalah: Yogyakarta, 2011)
Inspiratif, bermanfaat, dan patut dijadikan teladan.
BalasHapus