Salah satu hak suami adalah mendapatkan kepatuhan istri kepadanya dalam hal-hal kebaikan. Kepatuhan istri ini terkait dengan kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga. Dalam hal ini Allah swt berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” (Q.S. An-Nisâ` [4]:34).
Namun, perlu diketahui bahwa ketaatan tersebut berlaku hanya untuk hal-hal yang sifatnya positif, bukan dalam konteks keburukan dan kemaksiatan. Istri tidak berhak menaati suami yang gemar korupsi, mabuk-mabukan, gemar melakukan kekerasan fisik dan psikis kepada sesama, bahkan kepada keluarganya sendiri. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
b. Terjaga harta dan kehormatan keluarganya
Termasuk hak suami adalah terpelihara harga dirinya, kehormatan keluarganya (istri dan anak-anaknya). Allah SWT berfirman, “Sebab itu maka wanita yang shalih yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (di rumah), oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (Q.S. An-Nisâ` [4]: 34)
Dalam sebuah hadits dijelaskan, “Istri yang paling baik adalah istri yang jika engkau melihatnya maka ia menyenangkanmu, jika engkau menyuruhnya mengerjakan sesuatu maka ia taat kepadamu, dan jika engkau pergi darinya maka ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan hartamu.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad).
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan pentingnya suami dan istri menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh satu sama lain. Oleh karena itu, suami dan istri hendaknya saling menjaga komunikasi dan menjaga kepercayaan satu sama lain sehingga akan meminimalisasi potensi konflik dan penyimpangan dalam keluarga.
c. Suami berhak dilayani oleh istri
Seorang suami berhak mendapatkan pelayanan dari istri atas kebutuhan-kebutuhannya, dalam batas-batas yang baik dan sesuai dengan kemampuan istri. kebutuhan suami ini meliputi kebutuhan biologis dan kebutuhan lainnya. Terkait kebutuhan biologis, suami perlu mengomunikasikannya dengan istri secara baik, sehingga tidak ada rasa keterpaksaan dari istri dalam melayani suami. Dengan demikian, suami dan istri bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan perasaan nyaman.
Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti menyiapkan makan, menjahit pakaian, dan lainnya, suami hendaknya tidak membebani istri melebihi kemampuannya. Jika suami mampu melakukannya, maka hendaknya ia melakukannya sendiri. ‘Aisyah r.ha. menceritakan, “Bahwa Rasulullah biasa menjahit pakaiannya sendiri, menambal kasutnya (sandalnya) dan beliau berlaku sebagaimana seorang laki-laki berlaku di rumahnya.” (H.R. Abdurrazzaq dan Ahmad)
image: baitul-hikmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar